Hasil Karya ku

AKU INGIN MENCINTAIMU DENGAN SEDERHANA

Kupersembahkan untuk kakaku

Sore itu masih jelas teringat dibenakku. Hari itu, pertemuan kami yang ke lima belas. Disebuah Caffe yang terletak tak jauh dari tempatku bekerja, kami menghabiskan waktu tiga jam kami untuk mengisi sisa-sisa waktu kami yang mungkin akan terbuang sia-sia. Perbincangan kami hanya ditemani secangkir kopi dengan balutan cream manis ditengahnya. Petemuan itu menyisakan kerinduan sebab tidak ada lagi pertemuan di bulan September dan bulan-bulan berikutnya.

“(Aku tersenyum) Sudah berapa lama kita bertemu?” aku mencuri strat pembicaraan sore itu.

“Kita sudah bertemu lima belas kali dan kamu telah menanyakan hal ini tiga kali” jawab seorang laki-laki yang telah kukenal melalui jejaring social facebook sembilan bulan yang lalu.

“Bagiku kedua angka itu memiliki arti tersendiri. Terlalu manis untuk dilupakan” tiba-tiba pandangan kami bertemu disatu titik.

“Setiap kita bertemu hanya secangkir kopi yang kita pesan, kamu juga selalu memilih waktu sore hari di hari rabu dan kita selalu duduk ditempat yang sama” dia tersenyum dan tak melanjutkan kata-katanya.

“Disini kita bisa melihat jelas matahari terbenam, aku ingin setiap rabu sore bisa melihatnya bersama orang yang kusayangi. Aku bahagia bisa melihatnya bersamamu” aku merasakan kenyamanan yang belum pernah kurasakan bersama Ahzan.

“Dari awal pertemuan kita, aku sudah terkesan denganmu, Kia. Aku sudah terkesan dengan kepribadianmu yang begitu apa adanya, aku tekesan dengan caramu berbicara dan aku terkesan dengan dua bola mata indah yang berada dipenghujung alis tebalmu. Dibawah naungan langit senja yang pamit menghadirkan ketenngan malam, aku hanya ingin berkata aku mencintaimu” lalu dia terdiam. Aku melihat keseriusan terlukis diwajahnya.

Aku sungguh bahagia mendengar kalimat itu. Namun disatu sisi aku terluka karena itu. Aku menghela nafas panjang. Aku kebingungan mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan suatu hal yang tak pernah Ayyas ketahui selama itu. Lima menit berlalu, kami hanya diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhirnya, aku mencoba angkat bicara.

“Ayyas, kita telah berteman sembilan bulan lamanya. Bagiku, kamu adalah tetesan embun pagi yang jatuh membasahi kegersangan hati hingga mampu menyuburkan sanubariku dalam kesejukkan. Kamu adalah bintang gemintang malam di angkasa raya yang menemani kesendirianku yang berduka hingga mampu menerangi gulita malamku dalam kebersamaan. Aku sangat bahagia bisa bertemu dengan seorang laki-laki sepertimu. Namun, dari awal aku mungkin sudah salah mengambil langkah ini” aku menghentikan kata-kataku.

“Maksudmu?” tampaknya dia mulai kebingungan dengan kalimat terakhir yang kukatakan.

Aku mengubah posisi dudukku. Mungkin saat inilah  waktu yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya. Aku menghela nafas kembali.

“Aku telah berhubungan, jauh sebelum aku mengenalmu. Aku mengenal Ahzan dan kami saling menyapa” tiba-tiba mulutku serasa terkunci. Aku tak bisa lagi meneruskan kata-kataku.

Semua membisu, tak ada lagi yang bersuara. Garis-garis kekecewaan tampak diwajah laki-laki yang berada didepanku. Andai saja kami saling menyapa lebih awal mungkin aku akan bahagia saat ini bersama Ayyas. Setelah beberapa menit waktu kami yang tersita, aku kembali berbicara.

“Dengarkan aku Ayyas. Apa yang kukatakan adalah fakta yang sebenarnya. Aku mengenalnya tiga tahun yang lalu. Aku mencintai sifatnya alami dan menyukai perasaannya yang begitu hangat, namun selang waktu berjalan harus kuakui bahwa aku mulai merasa lelah. Alsan-alasan aku mencinntainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Aku merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah kudapatkan darinya. Ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam hubungan kami telah mementahkan semua harapan cintaku. Namun sejak pertemanan kita, aku mulai merasakan cinta kembali. Setitik kebahagian kini menyapaku,  kebahagiaan yang belum pernah kurasakan bersaman Ahzan. Kau hadir laksana pohon rindang dengan seribu dahan yang memayungiku dari terik matahari yang tak tertahankan hingga mampu memberikan keteduhan dalam kebahagiaan. Kau…” tiba-tiba dia mengangkat tangannya dan menghapus air mataku yang tak kuasa kutahan.

“Berhentilah menangis dan cintailah dia apa adanya” kulihat dia juga tampak menangis. Ini adalah pertama kalinya kumelihatnya menangis.

“Cintaku tak lagi seperti dulu. Tak sebening embun pagi di ujung dedaunan. Hanya bagai kabut putih dipegunungan yang datang dan kembali pergi. Hilang diterpa pancaran sinar matahari” aku semakin menangis. Saat inilah aku benar-benar merasakan hangatnya pelukan dari seorang laki-laki.

“Dia laki-laki yang beruntung karena bisa memiliki wanita sebaik dirimu” dia melepaskan pelukannya dan pergi meninggalkanku.

“Apakah ini akan menjadi pertemuan kita yang terakhir? Kapan kita akan bisa bertemu kembali?” itulah kata yang terakhir kukatakan kepadanya.

“Kita akan menjadi teman selamanya. Selama mata masih bisa melihat dunia, selama jantung masih berdetak, selama itu pula kita akan bertemu” langkahnya semakin menjauh dan hilang dari pandangan mataku.

Diantara sela-sela perpisahan itu aku sempat mengatakan bahwa aku mencintainya, namun dia hanya tersenyum dan tak mengatakan apa-apa.

Tiga bulan berlalu. Komunikasi diantara kami semakin berkurang, namun kebiasaanku di rabu sore tetap menjadi agenda mingguanku. Ada atau tanpa Ayyas aku selalu kesana. Kami hanya saling bertanya kabar seminggu sekali dan itupun aku yang pertama menanyakannya. Terakhir kali kami berkomunikasi dia mengatakan bahwa dia telah menemukan sosok wanita yang telah membuatnya jatuh hati. Aku bahagia mendengarnya namun disatu sisi aku juga menderita. Rupanya sembilan bulan pertemanan kami menyisakan banyak kenangan dan kenangan itu pula yang menyihirku untuk mulai jatuh cinta padanya. Aku sangat kehilangan sosok teman seperti dia. Walaupun kami tak pernah lagi menyapa namun aku cukup bahagia bisa hidup dengan kenangan yang kami buat sebab bagiku Ayyas akan selalu hidup dalam sejarah cintaku. Aku tidak menyesal karena pernah mencintainya.

“Terkadang sesuatu yang kita inginkan belum tentu bisa kita miliki dan terkadang juga sesuatu yang menurut kita baik belum tentu itu benar-benar menjadi yang terbaik untuk kita. Tuhanlah yang tahu apa yang terbaik untuk hambanya” kata seorang laki-laki yang tiba-tiba mendekatiku. Aku sempat terkaget oleh kedatangannya.

“Sudah berapa lama kamu disini? Bagaimana bisa kamu tahu aku disini?” kataku penasaran.

Dia tak menjawab pertanyaanku. Dia malah mengalihkan pebicaraan. Kini dia duduk ditempat  biasanya Ayyas duduk.

“Sore ini begitu indah dan aku baru tahu bahwa di tempat ini benar-benar bisa meihat matahari terbenam” katanya dengan tersenyum. Kalimat itu membuatku kaget.

“Itu benar,,, itulah yang kusukai….dari tempat ini” kataku terputus-putus

(Tersenyum) Ketika seseorang yang kita cintai tak pernah mencintai kita, cukuplah kita mencintainya dari kejauhan. Ketika seseorang yang kita cintai lebih nyaman bersama dengan orang lain mungkin kita akan terluka. Namun kalau itu terjadi diantara kita, aku akan sedikit berkorban demi melihat senyummu” aku tak tahu alasan mengapa dia mengatakan itu.

“Apakah kamu…??” dia memotong kata-kataku.

“Benar, Kia. Aku mengetahuinya, tentang pertemananmu lewat dunia maya dengan Ayyas dan tentang perasaanmu kepadanya. Maaf aku telah mengikutimu” kulihatnya Ahzan mulai meneteskan air matanya. Saat inilah aku merasa bersalah kepadanya.

“Maafkan aku Ahzan. Dari awal aku memang sudah salah dan kamu berhak untuk marah padaku” aku menundukkan kepala. Tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya.

“Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar dalam suatu hubungaan, Kia. Tapi yang ada hanya saling memahami dalam berhubungan.”

“Apakah kamu akan membenciku?” kataku penasaran.

“Mana mungkin aku bisa membenci orang yang kucintai. Lihatlah matahari sore ini benar-benar indah sama seperti senyummu. Ok, aku harus pergi. Ada urusan yang ingin kuselesaikan. Jaga dirimu baik-baik, Kia” itulah Ahzan, tak pernah sedikitpun ada kebencian dalam dirinya.

Setelah kepergiannya aku hanya menatapi matahari yang bergerak turun ke peraduannya. Sesaat sebelum aku meninggalkan tempat itu, aku menemukan sepucuk surat berwarna coklat beserta sebuah kota cincin berwarna merah. Aku membaca surat itu.

Untuk Kiara Azzahra.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Lewat kata walau tak pernah kukancapkan

          Lewat lagu walau tak pernah kunyanyikan

Lewat perasaan walau tak pernah kusampaikan

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Sampai titah Tuhan mempersatukan kita kembali

          Maafkan aku Kia, yang tak pernah bisa memberimu lebih. Maafkan aku yang tak pernah berada disisimu ketika kamu menangis. Maafkan aku yang tak pernah bisa memahamimu.

Aku mungkin akan pergi cukup lama, Kia. Aku berharap dengan kepergianku ini aku  bisa menata hatiku kembali agar bisa mencintai dan memahamimu. Sebelum aku pergi, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ingin mencintaimu dengan sederhana.

Yang mencintaimu,

Ahzan Naufal

Air mataku tak kunjung berhenti menangis. Betapa bodohnya diriku membiarkan orang yang begitu sangat mencintaiku terluka. Sebelum semuanya terlambat, sesegera mungkin aku mengejar Ahzan.

            “Hampir saja aku tak pernah bisa melihatmu kembali. Jangan pergi Ahzan!! Tinggallah disisiku lebih lama lagi” aku memohon kepadanya.

            “Tidak, Kia. Aku harus pergi. Aku yakin tanpaku juga kamu bisa bahagia” kata-katanya begitu dingin.

            “Apakah kamu tak mencintaiku lagi? Apakah kamu tak ingin hidup bahagia bersamaku? Apakah kamu tidak…” lagi-lagi dia memotong kata-kataku.

“Cukup Kia. Rupanya kamu belum berubah, kamu tak ubahnya seperti anak kecil. Jika kita meneruskan pernikahan ini dan berkeluarga tanpa pernah didasari atas cinta, itu sama saja bohong. Sebuah keluarga itu didasari oleh cinta dan tanpa cinta itu bukan keluarga namanya. Itu hanya seperti bangunan biasa, Kia. Aku harap kau paham” rupanya kali ini dia benar-benar serius.

“Jangan pergi!!! Kali ini, aku memohon padamu, berikan aku kesempatan untuk membalas cintamu. Aku tak ingin kehilangan cinta untuk kedua kalinya” tangisku semakin pecah dan aku terus memohon padanya. Tak peduli dengan orang-orang yang melihat tingkah gilaku di statsiun malam itu, aku terus memegang tangannya yang dingin.

“Maafkan aku, Kia. Keretaku sudah tiba” dia mulai melepaskan genggaman tanganku.

“Jangan pergi!!! Aku mohon jangan pergi, Ahzan!!” kali ini aku bersimpuh dihadapannya.

            Awalnya dia tak menghiraukan aksi gilaku itu. Dia terus berjalan dan pergi meninggalkanku. Namun semakin dia menjauh dariku langkahnya semakin mengecil dan dia menghentikan langkahnya lalu berlari memelukku. Inilah pelukan kami yang pertama kalinya. Hari itu benar-benar aku belajar untuk bisa memahamicinta dari seorang bernama Ahzan.

            Akhirnya kami menikah untuk kedua kalinya pada tahun itu pula dan dalam acara pernikahan kami ada satu kesempatan dimana pembawa acara mengajukan pertanyaan pada Ahzan.

            “Apa yang kamu rasakan di hari yang istimewa ini?”

“Aku seperti bermimpi. Hal terbaik yang pernah kulakukan dalam hidupku adalah mencintai istriku dan hal yang paling kusesali juga mencintai istriku. Aku sangat mencintai istriku, itulah kebodohan yang pernah kulakukan dalam hidupku sebab dia tak pernah mencintaiku. Setiap rabu sore aku selalu meluangkan waktuku hanya untuk melihat istriku tertawa lepas bersama orang lain. Walau itu sakit tapi aku cukup bahagia bisa melihatnya tertawa walau tak denganku. Jujur, aku tidak merasakan kebahagiaan hari ini sebab aku tak tahu apakah istriku mencintaiku atau tidak. Maaf aku berkata seperti itu” senyumnya kembali menghiasi wajahnya yang berlinang air mata. Kata-kata begitu susah kuucapkan.

“Dia mencintaiku begitu tulus namun aku mengabaikan cintanya karena keegoisanku. Hari ini, aku benar-benar mencintainya. Aku hanya meminta satu hal darinya, jadilah imamku didunia dan disurgaku nanti. Aku mencintaimu, suamiku” aku langsung memeluknya. Terdengar riuhnya tepuk tangan dari semua orang yang hadir dalam acara pernikahan kami.

Itulah perjalananku untuk menemukan cinta sejatiku. Aku menutup buku harianku yang berisi catatan masa laluku dan segera menemui suami dan anak-anakku yang tengah berkumpul di ruang keluarga.

 Diselesaikan di Ciamis, 18 Februari 2013 (22:39)

Oleh: Temuningsih

This entry was posted on December 4, 2013. 1 Comment

It’s Me

It's Me

I was a dreamer. I’m not afraid when stepped my foot, because I’d always God will be with me. I will keep going until I find a point I return. I will live with my dreams. I will continue to look for puzzle pieces of my life. I and my dreams like a shadow that never separated from the body. I’m grateful for this short life. I’m happy to be born of a mother like you,_Mom. I will still be your son till now and the life to come. I love Mom, because Allah.